I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak – hak politik rakyat secara masif dan serempak. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan yang damai.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.

B. Perumusan Masalah
Semua negara sering mendeklarasikan sebagai negara yang demokratis. Salah satu cirinya utamanya yaitu penyelenggaraan pemilu untuk memilih wakil rakyat, baik di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif, berdasarkan program yang diajukan peserta pemilu. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan pemilu adalah terpilihya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar sesuai dengan aspirasi rakyat. Pemilu yang dilaksanakan tanggal 9 April 2009 terdapat banyak kelemahan. Pertama, aturan pemilu sering berubah – ubah atau tidak stabil diluar kewanangan KPU. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya. Lebih tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dimana hak pilih rakyat harus bisa teraspirasikan, tetapi tidak bisa teraspirasi dalam pemilu karena banyak warga yang berhak untuk mencontreng tidak tercantum namanya dalam daftar pemilih tetap. Sungguh ironis dalam hal ini, dimana negara Indonesia menyatakan bahwa dirinya adalah negara yang demokratis.

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui kelemahan pemilihan umum 2009.
2. Dapat mengetahui bagaimana pesta demokrasi di Indonesia berjalan.
3. Dapat mengetahui apakah hak pilih semua warga Indonesia dapat teraspirasi dan terpenuhi dalam pemilu.
4. Dapat mengetahui apakah asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berjalan di Indonesia.

D. Manfaat
1. Memperluas pandangan kita bagaimana realita pemilu di Indonesia.
2. Memperluas pengalaman dan pengetahuan tentang politik di Indonesia.
3. Memperluas pemahaman bagaimana asas pemilu harus dijalankan dan pentingnya hak pilih warga harus dijunjung tinggi.

E. Ruang Lingkup
Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia merupakan sebuah jalannya pesta demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Indonesia yaitu berupa pemilihan calon anggota legislatif yang akan duduk di kursi DPR, DPRD dan DPD dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan anggota legislatif berasal dari berbagai partai – partai politik yang memenangkan dalam pemilihan umum secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang sebelumnya calon presiden dan wakil persiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum dan calon presiden sudah memenuhi persyarat sebagai seorang presiden menurut UUD 1945 pasal 6.

II. METODE PENULISAN

A. Objek Penulisan
Pemilihan umum di Indonesia merupakan salah satu ciri negara yang demokratis. Dimana hak pilih setiap rakyat secara langsung merupakan salah satu hak rakyat yang harus bisa terpenuhi. Setiap rakyat Indonesia berhak untuk menyalurkan aspirasinya dalam pemilu. Pemilu yang di laksanakan tanggal 9 April 2009 merupakan sarana untuk mengaspirasikan suara rakyat yeng disalurkan melalui memilh secara langsung wakil – wakil rakyat yang dipilihnya. Namun pemilu yang di laksanakan belum lama ini telah memberika kita sebuah catatan besar bahwa banyak kelemahan dalam pemilu. Ini sungguh ironis dan menjadi sebuah catatan besar bagi penyelenggara pemilu.

B. Dasar Pemilihan Objek
Pesta demokrasi yang berjalan di Indonesia belum benar – benar berjalan dengan baik, karena banyak terjadi kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu. Misalnya; banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, banyak warga yang berpaham apatisme, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi.

C. Metode Pengumpulan Data
a. Kaji pustaka
Melalui pengkajian dari berbagai sumber yang benar – benar obyektif, sesuai dengan realita yang terjadi dalam pemilu yang berjalan di Indonesia. Sumber – sumber yang di tuangkan dalam berbagi artikel, makalah, dan pengkajian tentang penilaian pemilu 2009.

D. Metode Analisis
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu yang sudah berjalan banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak pilih rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara. Banyak warga yang tidak memilih, baik karena golput politik ataupun golput secara teknis-administratif. Agar kesalahan – kesalahan ini tidak terjadi lagi dalam pemilu yang akan datang, perlu sekiranya KPU harus memutakhirkan data pemilih. Ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan KPU dalam melindungi hak warga yang sebelumnya telah dilanggar. Pertama yaitu dengan membuat posko pengaduan warga yang belum tercantum dalam DPT. Kedua yaitu menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.

III. ANALISIS PERMASALAHAN

A. Pembahasan
a. Lemahnya Pemilu 2009
Pemilu 2009 yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Puluhan ribu calon legislatif memperebutkan kursi panas di Senayan. Banyak hal yang kemudian menjadi sorotan dan dianggap sebagai kelemahan pemilu 2009. Kelemahan-kelemahan tersebut bersifat substantif maupun teknis.
Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.
Terdapat sebuah kasus yang menjadi sebuah catatan penting bagi jalannya pemilu yang berjalan di Indonesia ini. Yaitu ketidak beresan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Ironisnya terdapat warga yang mendapat undangan untuk mencontreng di dua TPS yang berbeda. Ini sungguh sebuah catatan penting bagi penyelenggara pemilu, karena masalah teknis seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam pesta demokrasi yang memakan uang rakyat. Sungguh ironis ada dalam satu keluarga saja ada yang yang terdata dan ada yang tidak terdata sebagai pemilih. Lebih parah lagi dalam suatu keluarga ada yang tidak sama sekali terdata sebagai pemilih. Hal ini selain merugikan warga negara karena harus kehilangan hak pilihnya, penyelenggaraan pemilu ini juga secara tidak langsung meningkatkan angka golput, baik golput karena memang menganggap pemilu 2009 tidak akan membawa perubahan berarti maupun golput karena hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan. Padahal hak pilih setiap warga negara dilindungi oleh undang – undang dimana semua warga berhak memilih dan menyalurkan aspirasinya, dalam hal ini melalui pemilihan umum secara langsung.
Menurut data yang didapat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI),misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, maka sebenarnya yang memenangkan pemilu adalah golput. Yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre : golput politik dan golput teknis. Terhadap meraka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekedar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji – janji kosong yang langsung dilupakan ketika sudah melenggang di kursi – kursi parlemen. Dinegara ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dilonstruksikan sebagai hak, belum menjadi kewaajiban sebagaiman halnya di Australia. Namun bagi yang golput karena teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.
Pihak kedua, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer dimana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. Undang – Undang Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.
Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.
Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :

HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

b. Berjalankah Asas Luber dan Judil Dalam Pemilu 2009
Pemilu yang tidak mampu mancapai tujuan hanya akan hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu yang demikian adalah pemilu yang kehilangan roh demokrasi. Tujuan pemilu itu sendiri adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar yang sesuai dengan pilihan rakyat. Untuk mencapai tujuan itu pemilu harus dilaksanakan menurut dengan asas – asas tertentu yang mengikat keseluruhan proses pemilu dan semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih atau bahkan pemerintah sekalipun. UUD 1945 menentukan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,dan adil.
Bagi bangsa Indonesia, pemilu sudah merupakan bagian dari agenda ketatanegaraan yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejak masa Orde Baru. Asas pemilu pada masa Orde Baru adalah sebatas pada langsung, umum,bebas, dan rahasia atau yang dikenal dengan asas “luber”. Asas itu lebih diorientasikan kepada cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan, berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Namun apabila dilihat dari jalannya pemilu yang telah lalu, asas ini belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak warga yang kehilangan hak pilihnya. Dengan demikian asas – asas tersebut hanya menjadi dasar pengaturan mekanisme pelaksanaan pemilihan atau pemungutan suara. Sementara terhadap penyelenggara pemilu dan peserta pemilu tidak ada asas yang harus dipatuhi. Salah satu akibatnya adalah terjadinya pengingkaran roh demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, baik oleh penyelenggara maupun peserta. Penyelenggara pemilu dalam praktiknya menjadi pemain untuk memenangkan peserta pemilu tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan dan prinsip demokrasi. Pada akhirnya, hasil pemilu tidak mencerminkan pilihan rakyat, tetapi hanya menjadi legitimasi bagi pihak yang sedang berkuasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam Perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa penyelenggaraan pemilu di samping harus secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, juga harus secara jujur dan adil.
Asas jujur mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Ini sangat jelas bahwa hak pilih sangat dilindungi, namun pemilu yang berjalan saat ini belum sepenuhnya menjiwai asas pemilu yaitu jujur.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan pemilu. Namun asas adil yang ada, dalam pemilu yang telah lalu belum mencerminkan sebuah keadilan yang merata terhadap jalannya pemilu. Terbukti dengan adanya warga Indonesia yang kehilangaan hak pilihnya. Hal ini menjadikan warga yang menganggap bahwa pemilu belum sepenuhnya sesuai dengan asas pemilu, bahkan masih jauh dengan asas pemilu itu sendiri.

B. Kesimpulan dan saran
a. Kesimpulan
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilu yang lalu telah menoreh sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia, tahun ini jumlah partai politik terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia yaitu sebanyak 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pemilu lalu banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak politik warga. Kelemahannya yaitu masalah yang bersifat substantif maupun masalah teknis. Kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu marupakan kesalahan yang paling utama, namun kesalahan itu tidak menutup kemungkinan juga dari warga Indonesia itu sendiri.
Pemilu yang sudah berlalu belum sepenuhnya mencerminkan dengan adanya asas pemilu yaitu asas luber dan judil. Asas pemilu hanya sebagian kecil saja yang sudah tercermin dan terwujud dalam pemilu Indonesia. Namun banyak sekali pelanggaran terhadap nilai – nilai asas luber dan judil. Padahal UUD 1945 telah mentukan bahwa jalannya pemilu harus dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
b. Saran
Jalannya pemilu haruslah sesuai dengan asas pemilu yang sudah secara jelas ditentukan oleh UUD 1945. Penyelenggara pemilu (KPU) harus menghindari kesalahan yang dapat merugikan warga negara, sehingga warga negara merasa tidak dirugikan dan hak politiknya tidak dilanggaran. Pemerintah harus menjamin hak pilih warga dan melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM dalam pemilu.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2008.
Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005.
Pengamat hukum tata negara dan pemilu CETRO, Sumber: Harian Tempo, Rabu 15 April 2009.
http://en.wikipedia.org/wiki/pemilu
Harian Kompas, Jumat 10 April 2009.